Seri Seni Ke-fasilitator-an [2]

Menjadi Bagian Solusi

”…If we aren’t part of Solutions, We are the part of problems (Anonim)”

Mengingatkan saya ketika masih duduk di bangku SMP dan mulai akrab dengan kepemimpinan dalam organisasi. Kata-kata yang mirip doktrin ini menjadi mantra yang cukup berpengaruh dalam diri saya dan teman-teman. “ Jika, kalian ini di sekolah, sebagai pelajar bukan menjadi bagian dari pemecahan masalah, maka sudah dipastikan kalian inilah bagian dari masalah”. Artinya apa? Masing-masing kita itu harus memberikan sumbangsih kepada sekolah, untuk ketertiban, untuk kemajuan dan prestasi yang akan membawa nama baik sekolah. Kadang doktrin itu perlu, untuk memaksimalkan aksi dan mencapai hasil. Baik, lalu model MBS( menjadi bagian dari solusi) ini kita praktekkan dalam hal kefasilitatoran atau pembelajaran kelompok yang dinamis. Bagaimana agar tiap-tiap diri kita menjadi bagian solusi? Pertama, sebagai fasilitator harus memahami dengan siapa sedang belajar. Hal ini penting untuk menempatkan diri, cara berbicara pilihan kata dan style kita sehingga memungkinkan untuk diterima sebagai bagian komunitas pembelajar. Kedua, bersifat sabar. Kesabaran menghadapi hal-hal yang tidak disenangi, perbedaan persepi dan perilaku masing-maisng orang. Sabar akan menghalangi kita dari tragedi” mutung”. Ketiga, menjadi bagian dari warga belajar. Bersikap dan berperilaku yang sama atau melakukan identifikasi diri dalam hal-hal yang positif. Pendidikan dengan model teman sebaya akan cenderung diterima. Keempat, tidak menggurui. Banyak orang sangat membenci model pembicaraan yang menggurui, merasa paling tahu, bersifat intruksi yang kurang bersahabat. Karena hal ini tidak sesuai dengan fitrah manusia yang. Kelima, saling memberdayakan dan mendukung. Tugas masing-masing warga pembelajar termasuk fasilitator adalah bagaimana memberikan motivasi sesama, bagaimana agar spirit yang sama itu dimiliki oleh setiap orang. Saling menolong untuk saling memajukan, untuk saling memperkuat konsentrasi dan sebagainya dengan orientasi hasil yang terukur dan optimal. Keeanam, sebagai warga belajar haruslah terlibat dan menghargai apa yang disebut rule of the game. Dalam belajar perlu kesepakatan untuk memaksimalkan upaya dalam menggapai tujuan belajar. Aturan main ini perlu, agar tidak mengalami penyimpangan dalam proses dan hasilnya. Biasanya kita mengistilahkan ini sebagai kontrak belajar. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa dalam proses belajar harus mengedepankan prinsip kesetaraan, kesamaan, dan menghargai perbedaan sehingga dalam satu kelas pembelajaran baik indoor maupun outdoor terjadi sinergi yang saling menguatkan, saling memberdayakan, memberikan kesempatan setiap warga belajar untuk berkembang secara optimal dengan bantuan dari teman-teman lainnya. Maju bersama, membangun kesadaran dan aksi kolektif yang kreatif dan inovatif adalah goal yang ingin dicapai semua anggota komunitas pembalajar. Egoisme ingin maju sendiri haruslah ditekan sebab, kayakinan theology yang ada dalam warga belajar adalah amal social, akan merasa puas jika kemajuan dapat dirasakan oleh semua warga belajar, dan juga memberikan kemanfaatan untuk kemaslahatan masyarakat dalam arti yang luas.

David Efendi, SIP Direktur LaPSI (lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani) Aktivis dan pendiri “sekolahan rakyat” Indonesia. Komandan dan Pasukan Gerakan Iqro’ untuk Semua

Tinggalkan komentar